Pilkada dan Perpustakaan
Oleh Ardian Je
Di Kota Serang, aura pemilihan
kepala daerah atawa pilkada sudah terasa begitu kuat. Maklum, tahun 2018
mendatang Kota Serang akan memilih kepala daerah yang baru, pemimpin baru (?),
penguasa baru. Di perempatan jalan Kebon Jahe, Warjok, Ciceri maupun di
jalan-jalan lainnya sudah terpampang demikian sesaknya baliho-baliho para bakal
calon walikota dan bakal calon wakil walikota. Di baliho-baliho itu mereka
mengenakan pakaian yang bagus, lengkap dengan peci atau kerudung, dan memasang
senyum yang manis. Mereka tengah berupaya memperkenalkan diri kepada
masyarakat.
Pemasangan
baliho-baliho itu merupakan langkah awal memperkenalkan diri sebelum musim
kampanye dimulai. Terkait kampanye, mungkin kita (baca: masyarakat) sering
mendengar janji-janji atau program-program para calon kepala daerah.
Janji-janji atau program-program itu diutarakan agar masyarakat tertarik untuk
memilih, agar sang calon kepala daerah yang diusung partai politik beserta
koalisinya dapat memenangkan pertarungan politik di arena pilkada tersebut.
Janji-janji atau
program-program yang diramu oleh para tim sukses itu biasanya tak jauh berebeda
dengan janji-janji atau program-program dalam kampanye politik di tahun-tahun
sebelumnya, walaupun mungkin ada beberapa yang dimodifikasi—tetapi tetap saja
masih berpijak pada janji-janji atau program-program yang itu-itu saja.
Janji
Langganan
Setidaknya, ada beberapa
janji-janji atau program-program “langganan” saat kampanye. Pertama, pembangunan atau perbaikan sarana
ibadah, seperti masjid atau musala—dan pondok pesantren. Janji atau program ini
sering diajukan oleh para calon kepala daerah, bahkan setingkat calon lurah
atau kepala desa dan camat juga sering menggunakan program ini. Kebanyakan,
terutama masyarakat kalangan bawah, sering mengajukan permohonan ini. Mereka
ingin tempat beribadah mereka dibangun atau diperbaiki agar lebih bagus, agar
masyarakat lebih bersemangat untuk datang dan beribadah, mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Kedua, yang tak
kalah penting dan sering, janji atau program pembangunan atau perbaikan jalan
raya atau jalan di kampung-kampung. Ini janji klasik. Kalau calon kepala daerah
ingin dipilih masyarakat dan menang, maka ia harus membangun jalan atau
memperbaiki jalan. Alasannya, tentu untuk kemudahan mobilisasi yang berpengaruh
besar kepada dampak ekonomi masyarakat. Jalan mulus, rejeki mulus.
Ketiga, janji atau
program penyediaan atau penambahan lapangan pekerjaan. Dari dahulu hingga
sekarang, masyarakat selalu meminta ini. Masalah pengangguran seolah-olah
masalah yang tak terpecahkan. Setiap tahun, lulusan sekolah menengah atas atau
sederajat, hingga sarjana, selalu bertambah, dan itu menyebebkan penambahan
jumlah pengangguran di suatu daerah. Belum lagi para pekerja yang datang dari
luar daerah hingga luar negeri. Semakin kompleks saja persaingan dan permasalahan
pengangguran ini.
Keempat, janji atau
program jaminan pendidikan (termasuk pembangunan atau perbaikan gedung sekolah)
dan pelayanan kesehatan gratis. Saya kira program ini sudah mulai berjalan,
mengingat sudah bergulirnya program Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan kini
ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Tapi tetap saja program yang satu ini sering menjadi andalan para calon kepala
daerah saat musim kampanye tiba.
Janji
Literasi
Ada satu hal dalam pandangan saya
yang sangat jarang dilakukan para calon kepala daerah saat berkampanye, yaitu membangun
perpustakaan atau menghidupkan perpustakaan yang sudah ada namun kurang aktif. Ini
bisa disebut janji literasi atau program literasi saat kampanye. Dalam hal ini,
mungkin akan muncul pertanyaan “Buat apa membangun perpustakaan?”, “Apakah itu
penting buat masyarakat?” atau “Lebih baik membuat program pemberantasan
korupsi!”
Bagi saya ini
penting. Perpustakaan, yang menyediakan buku-buku bacaan, adalah jantung
peradaban. Jika tidak ada perpustakaan, jika tidak ada buku-buku bacaan,
masyarakat akan tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan
tentu saja akan membawa dampak kepada persaingan global.
Terkait
program pemberantasan korupsi, saya sangat mendukung. Tapi jika mengingat-ingat
kasus korupsi, banyak nian pejabat atau kepala daerah baik di Banten maupun di
luar Banten yang tersangkut dan terperosok ke jurang kenistaan korupsi. Mungkin
karena itu pula para calon kepala daerah tidak menerakkan program ini.
Saya sering
membayangkan para calon kepala daerah memiliki program pembangunan perpustakaan
atau taman bacaan masyarakat (TBM) di kampung-kampung, atau jika itu dirasa
masih terlalu berat bisa diganti dengan satu perpustakaan di satu desa atau
kelurahan. Dan program ini dijalankan sebagaimana mestinya. Masyarakat, dari
anak-anak, remaja, dewasa, tua, memburu buku dengan gesitnya. Bukankah itu hal
yang indah dan menakjubkan?
Efek
Domino
Jika ada satu perpustakaan di
satu kampung atau di satu desa, maka akan terjadi efek domino: masyarakat akan
lebih dekat dengan buku, dengan literasi, yang secara berkelanjutan mereka akan
terdidik oleh bacaan-bacaan yang ada dan tentunya perlahan-lahan tumbuh daya
kritis di kalangan masyarakat, sehingga mereka tidak akan asal-pilih calon
pejabat (kepala desa/lurah, camat, walikota/bupati, gubernur, presiden) di
pemilihan umum atau pilkada berikutnya. Bukankah salah satu tanggungjawab
kepala daerah mencerdaskan masyarakatnya?
Manfaat
kampanye membangun perpustakaan bagi calon kepala daerah ialah bisa menarik
hati dan simpati kaum akademisi, cerdik cendekia, pegiat literasi.
Manfaat bagi
masyarakat, selain yang sudah dipaparkan di atas, adalah pendidikan bagi
masyarakat itu sendiri. Masyarakat akan memiliki pengetahuan, mata mereka akan
terbuka kepada dunia, dengan membaca. Mereka juga akan menjadi masyarakat yang
literat, masyarakat yang melek literasi. Dengan demikian kualitas diri mereka
akan bertambah, ter-upgrade melalui
membaca. Bukankah suatu kebahagiaan tersendiri bagi para pemimpin atau penguasa
memiliki masyarakat yang demikian—masyarakat yang berpengatetahuan, cerdas,
kreatif dan tentunya kritis?
Mendekatkan
masyarakat pada buku dan ilmu pengetahuan berarti mendekatkan masyarakat kepada
Tuhan. Bukankah Ia memerintahkan manusia untuk senantiasa membaca dan belajar?
Membaca dan mempelajari buku dan alam semesta. Menyediakan buku kepada
masarakat berarti mempersiapkan masyarakat yang siap bersaing dengan modal ilmu
pengetahuan, dengan otak, bukan dengan otot dan kekuatan fisik semata.
Jika program
ini bisa dilaksanakan dengan baik, tentu rumah ibadah-rumah ibadah yang ada
akan lebih ramai didatangi karena masyarakat memahami pentingnya berbidah
melalui buku-buku bacaan agama, jalan-jalan menjadi mulus karena dijaga dengan
baik, pengangguran akan berkurang karena masyarakat memiliki ilmu pengetahuan
dan kompetensi yang memadai, dan tentunya menjadi masyarakat yang terdidik oleh
bacaan-bacaan dan paham kesehatan.
Tapi saya
curiga. Jangan-jangan para calon kepala daerah tidak pernah membuat program ini
saat kampanye atau setelah jadi kepala daerah karena memang mereka sendiri
tidak memiliki perpustakaan pribadi di rumah, tidak suka pergi ke perpustakaan
umum kabupaten/kota dan provinsi, tidak suka membaca buku-buku.
Semoga
kecurigaan saya ini keliru.
Banten, 1 November 2017
Tulisan ini dimuat Radar Banten, Senin, 13 November 2017
Ardian
Je adalah relawan di Rumah Dunia dan
pendidik di MTs-MA Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon dan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Banten. Buku puisinya yan berjudul Bojonegara (2017) segera terbit kembali.
mantafff
BalasHapusyaelah, komennya gitu doang.
HapusKepentingan kampanye nyaris lepas dng kepentingan membangun. Kampanye lebih berorientasi kepada mencari mangsa politik.
BalasHapusBegitulah realitanya. Dan jangan didiamkan.
BalasHapus