Sawah, Nasibmu Kini



Oleh Ardian Je


Saat masih kanak-kanak, saya bersama teman-teman di kampung halaman sering bermain di sawah saat musim panen tiba. Banyak sekali permainan yang kami lakukan, seperti membuat wayang golek dari jerami, bermain sepak bola, bermain layang-layang, bermain kejar-kejaran, bermain perang-perangan, pernah juga bermain smack down-smack down-an yang pernah tenar di televisi. Saat musim panen tiba, angin yang berhembus di sawah terasa sangat menyegarkan di sore hari. Banyak orang kampung saya, termasuk saya, duduk di pematang sawah, di pinggir kampung, hanya untuk sekadar duduk-duduk dan merasakan kesegaran angin tersebut. Entah kenapa, saat musim panen tiba, anak-anak mendapat uang jajan lebih dari orangtua mereka. Mungkin itu salah satu keuntungan bagi masyarakat kampung saat musim panen tiba, yakni punya uang lebih, meski tak seberapa. Pendek kata, sawah adalah bagian dari orang-orang kampung.
Tapi kini, saat musim panen tiba, saya jarang melihat anak-anak bermain di sawah, melakukan permainan-permainan yang saya sebutkan di atas. Zaman telah berubah. Permainan-permainan yang biasa dimainkan anak-anak zaman now juga ikut berubah. Anak-anak zaman now, di musim apa pun, nampaknya lebih tertarik menonton televisi di rumah, atau bermain game online di warung internet (warnet) atau tenggelam oleh game offline di gawai pintar (smart phone) dan media sosial. Sawah kian terlupakan. Selain itu, ada hal lain yang menyebabkan sawah tidak menarik perhatian anak-anak lagi, dan ini lebih menyakitkan, yakni sawah-sawah di perkampungan mulai berkurang jumlahnya. Astaga!

Sawah, Nasibmu Kini
Sadar ataupun tidak, cepat maupun lambat, kita sudah dan masih terus menemukan kenyataan yang pahit: sawah tidak lagi ditanami pohon-pohon padi, melainkan perumuahan-perumahan yang congkak, pabrik-pabrik yang tak henti memproduksi sampah, mal-mal yang menggerus pedagang-pedagang kecil dan bangunan-bangunan lainnya. Betapa malang. Betapa mengerikan.
Jika melihat kenyataan ini, kenyataan yang pedih ini, saya jadi teringat petikan sajak Toto ST Radik:

bulan hilang cahaya, rontok dan menggelepar
di sawahsawah yang hangus terbakar

(sajak Bulan Sudah Mati)

tanah sebelah mana lagikah
bakal kau tanam pabrikpabrik
dan mimpi buruk?

(sajak Elegi Serang)

Dua puisi tersebut ditulis pada tahun 1994. Tapi masih terasa kontekstual hingga kini. Sejak tahun 1994, atau mungkin tahun-tahun sebelumnya, sawah-sawah di Banten sudah menghadapi ancaman, kerusakan atau mungkin kehilangan, seperti yang tertulis pada petikan sajak di atas. Hingga kini, kenyataan pahit dan mengerikan itu masih terus terjadi, bahkan jauh lebih menggila.
Jika hendak pergi ke Cilegon ataupun Serang, saya melewati jalan kampung. Di sisi kiri jalan, terbentang lautan rumah-rumah kotak dalam sebuah perumahan. Di dekatnya, tanah sekian hektar sedang diurug tanah juga. Mobil-mobil truk mengangkut tanah merah, diratakan mobil beko. Di situ juga akan dijadikan perumahan. Dulu di sana adalah lautan sawah dan tegalan. Kini tinggal kenangan.
Di sebelah kanan jalan masih ada lautan sawah. Tapi kabarnya, tanah sekian hektar itu juga sudah dibeli oleh pemilik perumahan di sisi kiri jalan itu. Tinggal menunggu waktu saja kapan perumahan itu dibangun.
Nanti, kalau saya hendak pergi atau pulang ke kampung, saya mesti melewati dahulu jalan yang dikepung oleh barisan perumahan. Kampung tempat saya tinggal (Mangkunegara, Bojonegara) makin terhimpit, sempit, berada di ujung pojokan jalan dan peradaban.
Selain itu, di sepanjang jalan Bojonegara menuju Gunung Santri hingga Ragas, banyak sawah-sawah yang sudah ditanami pabrik-pabrik—kebanyakan pabrik pasir, batu-batu dan alat rumah tangga lainnya atau bahan bangunan lainnya, di samping bukit-bukit juga mulai digunduli.

Sawah, Nasibmu Nanti
Jika sawah-sawah terus menerus ditanami perumahan, pabrik-pabrik, mal-mal, dan bangunan-bangunan lainnya, cepat atau lambat perubahan suhu udara akan terjadi. Udara akan terasa lebih panas, lebih menyengat, karena jumlah pohon padi berkurang, oksigen ikut berkurang. Polusi bertambah liar dan garang. Maka lahan yang dulunya sawah, dan daerah sekitarnya, akan semakin tandus, semakin bikin gerah badan dan perasaan. Sekarang pun udara dan cuaca sudah terasa sangarnya.
Ekosistem juga akan ikut rusak. Hewan-hewan di sawah akan kehilangan habitat mereka. Takkan bisa kita dengar lagi cengkrik jangkrik, nyanyian katak, apalagi nyala kunang-kunang di malam hari dan gerak ikan-ikan, yang kini memang mulai tidak bisa ditemukan lagi di sawah.
Tidak hanya itu, hewan ternak seperti kambing, sapi dan kerbau akan kehilangan tempat merumput, yang umum tumbuh di sawah-sawah. Populasi hewan ternak akan berkurang seiring berkurangnya tempat mereka untuk makan.
Dampak buruk yang terjadi akibat berkurangnya lahan persawahan tidak sebatas itu. Bagi warga sekitar atau warga kampung, meski yang tak punya sawah, dengan adanya sawah, mereka setidaknya bisa menjadi buruh tani yang bekerja membajak sawah, nandur (menanam padi), ngoyos (membersihkan tanaman dan rumput liar di sawah), memotong padi, ngegebot, atau kuli angkut padi. Setidaknya, kalau panen atau musim nandur, orang yang tak punya sawah bisa ikut merasakan rezeki dari sawah, meski tak seberapa. Itu menandakan bahwa sawah bisa memberi efek baik berupa pendapatan ekonomi kepada warga sekitar yang tak punya sawah.
Efek buruk yang terjadi bisa lebih meluas lagi dengan berkurangnya jumlah sawah secara masif. Orang Indonesia secara umum akan kesusahan mendapatkan bahan pangan, terutama beras, bahan pokok, yang bersumber dari padi yang ditanam di sawah. Kita sudah merasakannya sekarang, bukan? Kita mulai kekurangan bahan pangan. Hasilnya nanti akan tambah banyak beras impor dari negara lain dengan harga lebih mahal. Padahal Indonesia adalah negara agraris, salah satu negara yang seharusnya menjadi produsen padi dan beras. Jangankan nanti, sekarang saja impor beras dan bahan pangan lainnya sudah banyak. Ini aneh, tapi nyata.
Orang Indonesia terbiasa makan nasi. Jika tidak makan nasi, orang Indonesia merasa tidak makan. Bagaimana jika kondisi beberapa tahun mendatang seperti ini: sawah-sawah sudah habis, berubah jadi perumahan atau bangunan-bangunan yang lain. Kita mau makan apa?  Apakah kita mau berganti makanan pokok, dari nasi ke roti, misalnya? Kalau saya tidak bisa. Tidak kenyang kalau tidak makan nasi!
Apa yang sebaiknya kita lakukan? Baiknya, warga yang punya sawah dan orang-orang yang punya kekuasaan harus menjaga sawah agar tetap menjadi sawah, tidak dijual kepada orang yang ingin menyulapnya menjadi perumahan atau semacamnya. Jangan menjualnya demi kepentingan pribadi. Meskipun sawah itu milik pribadi, namun manfaat sawah untuk orang banyak, terutama orang sekitar.
Sejak detik ini, mari kita jaga kepemilikan sawah kita, sesulit bagaimanapun keadaannya. Jangan sampai sawah kita terus menerus berkurang lalu hilang dan menyesal di hari kemudian. Karena sawah tidak hanya tempat menanam padi, tetapi juga tempat hidup kita.

Bojonegara, Banten, 7 Januari 2018
                                                                          Tulisan ini dimuat Kabar Banten, Kamis, 11 Januari 2018.

Ardian Je, relawan Rumah Dunia dan Pendidik di MTs-MA Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nobiagari

Pilkada dan Perpustakaan