Tradisi, Islam, dan Masalahnya



Judul: Fiqih Tradisi: Cara Baru Memandang Tradisi Islam di Indonesia
Penulis: Ahmad Bisyri Syakur
Penerbit: Salamadani
Cetakan: I, Maret 2013
ISBN: 978-602-7817-06-7
Tebal: xxvi + 262 halaman



Oleh Ardian Je

Agama adalah salah satu hal yang paling sakral bagi manusia, meski ada di antara manusia itu sendiri yang tidak memiliki dan percaya pada agama ataupun Tuhan. Di setiap perputaran roda kehidupan dan zaman, agama dan seluruh tata cara pelaksanaannya, selalu menarik untuk diperbincangkan, untuk mencoba memenuhi kepuasan atau jawaban yang belum pernah dijumpai. “Dengan seni, hidup jadi lebih indah. Dengan agama, hidup jadi lebih terarah,” begitulah kata para pemuka agama ketika menyampaikan dakwahnya di majelis ilmu.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia—secara sadar maupun tidak; dan sengaja maupun tidak sengaja—menciptakan sejarah dan tradisi. Seperti yang kita ketahui, sejarah dan tradisi  menjadi darah yang mengalir dalam jiwa kehidupan manusia secara kolektif maupun individu. Dengan tradisi (budaya), masyarakat atau individu memiliki karakter tersendiri.
Sebagai makhluk yang berakal dan beragama, selain menciptakan tradisi, manusia juga menjadi pelaku tradisi. Untuk membuktikan keberagamaannya, manusia mesti beribadah pada Tuhannya, juga pada sesama manusia dan alam di sekitarnya. Umat Islam atau muslim, mesti taat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa agar mendapatkan keberkahan hidup di dunia dan kebahagaiaan di akhiran kelak; masuk  ke dalam taman surga yang indah bukan nian. Namun, dalam pelaksanaan ibadahnya, manusia sering kali mendapat kebingungan. Apakah dengan melakukan hal ini kita melakukan perintah agama, ataukah sebaliknya? Pekerjaan ini sesuai syariat atau tidak? Dan terkadang, tradisi dari leluhur ikut bercampur dengan tata cara ibadah manusia—meski belum sepenuhnya tradisi itu betul dan sesuai dengan tata hukum agama Islam.
Dalam pengantarnya, Dr. Surahman Hidayat, anggota Dewan Syariah Nasional DSN-MUI dan DPR-RI 2009-2014, menulis Islam tradisi adalah masyarakat muslim yang menjalankan ajaran Islam hanya berdasarkan apa yang mereka lihat, mereka dengar dari lingkungan tempat mereka lahir dan dibesarkan tanpa mau memahami dan berani untuk bersikap kritis terhadap ajaran Islam yang diterimanya sejak kecil hingga dewasa. Mereka menganggap pemahaman ajaran Islam yang sudah ditradisikan itu adalah sebagai hal baku dan paling benar.
Dari uraian paragraf di atas, ditemukan sebuah pakem pemikiran yang dianut masyarakat—terutama masyarakat tradisional—yang belum tentu kualitas kebenarannya. Tidak semua tradisi mengandung nilai kebenaran dan kebaikan. Seharusnya, kebenaran dan kebaikan ditanam dan dirawat menjadi tradisi masyarakat muslim Indonesia.
Fiqih Tradisi: Cara Baru Memandang Tradisi Islam di Indonesia (Salamadani, 2013) karya Ahmad Bisyri Syakur mengupas pelbagai problematika tradisi Islam yang terjadi di masyarakat muslim Indonesia.  Problematika-problematika yang dibahas oleh penulis buku best seller The Pocket Fiqh ini pada umumnya sering kita jumpai pada kehidupan tradisi Islam di lingkungan kita, terutama di dataran Pulau Jawa dan Sumatera. Tradisi-tradisi Islam yang dibahas lebih-kurang ada tigabelas, yakni tahlilan; zikir bersama; istighatsah; ziarah kubur; talqin jenazah; ritual qurban; ritual aqiqah; ritual shalat jumat; shalat ied dan takbiran; perayaan maulid Nabi Muhammad Saw; perayaan nisfu Sya’ban; perayaan isra’ mi’raj; dan perayaan haul.
***
Setiap materi yang hidup (manusia, hewan, dan sebagainya), tentu akan mengalami kematian. Ruh tercabut dari raga, kemudian semua anggota tubuh kehilangan fungsinya. Jantung tak lagi berdetak, mata tak lagi melihat, hidung tak lagi bernafas, dan seterusnya. Usai kematian menjumpai seorang manusia, —seorang muslim, tentunya—ia akan dikubur; meninggalkan seluruh sanak keluarga yang masih hidup di alam dunia. Dan mereka, sanak keluarga (sohibul musibah) yang masih hidup, akan disibuki dengan pemandian, pengkafanan, penguburan, hingga pendoaan (melakukan kegiatan pembacaan tahlil atau tahlilan) bagi si almarhum/almarhumah.
Jika sanak keluarga yang ditinggalkan itu—istilahnya—orang yang berkecukupan dalam hal finansial, maka tidak akan bermasalah bagi mereka untuk mengadakan atau menggelar acara doa bersama—tahlilan, maksudnya. Mendoakan si mayit, bukanlah sebuah larangan dalam syariat Islam, terlebih itu adalah bentuk lain dari kepedulian para tetangga, para saudara sekitar. Hal yang demikian akan membantu dan membangun mental sohibul musibah agar tidak benar-benar larut dalam kesedih-pedihan.
Namun bagaimana jika sohibul musibah adalah orang yang tidak mampu, orang yang benar-benar dicekik kemiskinan? Dalam faktanya, ini sering terjadi, sohibul musibah akan mencari dana sebisa mungkin, malah banyak yang rela berhutang pada saudara atau tetangga demi menggelar acara tahlilan. Di sinilah titik masalah yang sering terjadi di masyarakat muslim Indonesia. Mereka mesti menyediakan dana secukup mungkin untuk membeli nasi kotak bagi para tamu yang hendak membantu mendoakan; belum lagi honorarium untuk pemimpin tahlilan.
Kita tahu bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran terhadap penganutnya. Tidak ada hal yang dipaksakan jika memang tidak bisa dilakukan. Toh, Islam dan Quran bersifat fleksibel, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi manusia.
Pemaparan singkat di atas adalah salah satu contoh dari problematika tradisi Islam yang dibahas oleh penulis lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan Universitas As-Salafiah, Islamabad, Pakistan. Sekali lagi, Quran dan hadis memang bersifat fleksibel—sekaligus memperkuat landasan pemikiran filosofis! Semua pertanyaan kehidupan dan masalah yang berkelindan dapat dijawab, dapat dipecahkan.
Permasalahan lain, yang mengisi materi pada buku ini, dijelaskan dan coba diberi jalan keluar oleh penulis dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Semua terasa begitu mengalir, tanpa ada penghambat apapun. Tidak diperlukan pemikiran dan pemahaman yang mendalam ketika membaca buku setebal 262 halaman tersebut. Penulis memaparkan hal-hal yang dikaji sesuai dengan pemahamannya terhadap Quran dan hadis dan pelbagai literatur fiqih lainnya; membahas problematika beragama atau tata cara beribadah sesuai perkembangan zaman. Namun—sejarah tradisi Islam yang dibahas—pemecahannya hanya diuraikan secara singkat, kurang mendalam. Juga, banyak istilah-istilah yang berasal dari bahasa Arab, namun penulis, dengan sangat baik hati, memberi penjelasan dari pelabgai istilah tersebut di bagian khazanah.
Manusia, dalam beragama, tentu melahirkan budaya atau tradisi; dan terkadang, keduanya bercampur-baur dan sulit untuk diteliti. Terlebih, tidak semua tradisi—baik yang berupa kearifan lokal maupun agama—menyimpan kebenaran yang hakiki. Sangat diperlukan sebuah landasan pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan yang luas untuk mencari sebuah jalan yang mendekati kebenaran kehidupan, kebenaran beragama.



Ardian Je, relawan Rumah Dunia. Penulis buku puisi Bojonegara (2017). Tinggal di Kubang Gede, Mangkunegara, Bojonegara, Serang, Banten.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sawah, Nasibmu Kini

Nobiagari

Pilkada dan Perpustakaan