Ziarah Sang Alkemis


Oleh Ardian Je

Ziarah bagi kebanyakan orang mungkin merupakan sebuah perjalanan ke suatu tempat yang keramat atau suci. Tapi tidak bagi Paulo Coelho. Penulis novel Ziarah dan Sang Alkemis itu melakukan ziarah—sekaligus perjalanan—tidak hanya ke tempat-tempat keramat atau suci, melainkan juga ke tempat-tempat yang dianggap biasa. Namun, di balik itu, ia malah menemukan sesuatu yang luar biasa yang dialami orang-orang biasa yang ditemuinya. Dari sanalah ia belajar memahami kehidupan, dan ziarah atau perjalanan yang dilakukannya bukan perjalanan ragawi biasa, melainkan perjalanan spiritual yang penuh makna.
Dalam buku Seperti Sungai yang Mengalir (Gramedia Pustaka Utama, 2012), terhimpun tulisan-tulisan Paulo Coelho mengenai buah pikirannya dan renungan tentang kehidupan. Buah pikiran dan renungan itu ia temukan dalam perjalanan-perjalanannya ke negara-negara yang dikunjunginya dalam acara seminar atau ceramah kepenulisan. Banyak pula pelajaran yang didapatkannya melalui obrolan dengan teman lama atau orang yang baru ditemui, pembaca, orang-orang di gereja, hingga pemusik di jalanan uang kesepian.
Renungan-renungan hidup yang ditemukan atau dimaknai Paulo Coelho tidak bersumber dari peristiwa-peristiwa besar. Ia mendapatkannya dari peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi dalam kesehariannya, seperti saat ia merapikan kebun. Di kebun, ia ingin membersihkan ilalang. Namun, setelah itu, ia banyak bertanya kepada diri sendiri dan memikirkan ilalang beserta tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sana. Lalu dari sana ia mendapat pelajaran berharga: kalau ada sesuatu yang tidak baik tumbuh di dalam jiwa saya, saya minta pada Tuhan supaya memeberi saya kekuatan yang sama untuk mencabut dan membuangnya tanpa ampun (halaman 8).
Dalam menjalani hidup ini, manusia harus mempu meluangkan waktu untuk dirinya, jangan melulu mempersibuk atau disibukkan dengan rutinitas tuntutan pekerjaan. Sesibuk apa pun seseorang, ia mesti merenung, meski hanya beberapa saat untuk memikirkan kehidupannya. Saya mendengarkan apa yang perlu saya dengar dari diri saya sendiri (halaman 114).
Keinginan banyak orang di dunia ini adalah menjadi orang baik, terutama kepada sesama manusia. Barangkali setiap orang sudah mengetahui hal ini sejak kecil. Namun dalam praktiknya, manusia sering melupakan hal kecil ini. Tolong-menolong dan peduli kepada sesama manusia sangatlah penting dan harus diterapkan, karena Tuhan menyukai manusia yang peduli sesamanya.
Menyikapi rasa takut pada maut juga harus dimiliki manusia. Apa gunanya merasa takut pada kematian, sebab kita semua, cepat atau lambat, toh akan mati juga. Dan hanya mereka yang telah menerima kenyataan ini, yang siap menjalani kehidupan (halaman 144).
Seperti yang dapat kita temui dalam novel-novelnya yang notabene mengajarkan tentang cinta, dalam buku ini Coelho juga memberi pelajaran tentang cinta. Coelho ingin mengajak para pembaca untuk percaya dan berpegang erat pada cinta. Cinta tak pernah mati… Cinta membawa perubahan (halaman 215). Cinta menciptakan jembatan di tempat-temapt yang kelihatannya mustahil (halaman 222-223).
Perjalanan—atau ziarah—yang dilakukan Paulo Coelho ke pelbagai belahan dunia merupakan perjalanan spiritual. Dari setiap perjalanan itu, banyak peristiwa yang dialaminya yang memberikan banyak pelajaran hidup tentang perdamaian, toleransi, perjuangan, bersikap dalam hidup, kiat bepergian, rendah hati, penuh aksih, seruan merayakan hidup dengan penuh suka cita, menyadari kebesaran Tuhan, dan seterusnya. Karena banyak melakukan perjalanan, Coelho telah sampai pada kematangan spiritualnya.

Bojonegara, Banten, Selasa, 26 Juni 2017

Ardian Je, relawan Rumah Dunia; penikmat buku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sawah, Nasibmu Kini

Nobiagari

Pilkada dan Perpustakaan