Garis-garis Kehidupan



Oleh Ardian Je

Aliran air Sungai Amu Darya, sungai pemisah sejumlah republik di Asia Tengah, seolah mengalir di hadapan saya, ketika saya membaca Garis Batas (Gramedia Pustaka Utama, 2011) karya travel writer Agustinus Wibowo. Buku setebal 510 halaman itu mesti saya baca dan nikmati dengan sabar, dengan sepenuh hati. Terkadang, saya merasa greget—ingin mengunjungi tempat yang dideskripsikan sang penulis—saat membacanya. Ingin rasanya memakan roti nan di Tajikistan, melihat-lihat hal luar biasa yang terjadi di Kirgistan, berjalan di atas tumpukan salju di Kazakhstan, menggoda wanita-wanita cantik Uzbekistan, serta berkeliling kota dengan biaya transportasi murah di Turkmenistan. Tetapi saya mesti bersabar dan menabung terlebih dahulu sebelum melakukan perjalanan—berkeliling Indonesia, Asia Tenggara, dan negara-negara lainnya. Dengan perjalanan yang telah dilakukannya di lima negara Asia Tengah itu, tentunya Agustinus telah banyak mereguk “air kehidupan”, menjengkali garis batas-garis batas pengalaman yang terkadang menakjubkan, terkadang pula memilukan. 

Masa Lalu
Masa lalu, makhluk apakah itu? Apakah dia hidup? Bisakah ia mati? Apakah Anda memiliki masa lalu? Apakah masa lalu mempengaruhi masa sekarang dan masa depan?
Di negara-negara Asia Tengah yang diarungi Agustinus Wibowo dan negara-negara baru yang berakhiran “stan” lainnya, kebanyakan tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu. Negara-negara itu adalah bekas jajahan Uni Soviet (Rusia), kemudian perlahan-lahan meraih kemerdekaannya dengan cara yang beragam. Bahasa, arsitektur gedung, pola berpikir, masih sangat berbau Rusia, dan (sepertinya) dengan sengaja mereka di-Rusia-kan. Orang-orang Kazakh (warga negara Kazakhstan) sangat fasih berbahasa Rusia, bahkan lebih fasih dibandingkan dengan orang Rusia sendiri. Bahasa Kazakhstan tidak menjadi bahasa ibu, hanya sebagai bahasa kedua. Apartemen bergaya Rusia banyak ditemukan di Kazakhstan, juga di negara-negara berakhiran “stan” lainnya.
Tidak hanya bahasa, arsitektur gedung dan pola pikir saja yang seolah didoktrin pada negara-negara bekas jajahan Uni Soviet itu, agama pun ikut digarap. Agama Islam adalah agama mayoritas di Asia Tengah, namun ini tidak berarti bahwa umat Islam di sana tidak meminum alkohol. Sebagai contoh, di Kirgizstan, alkohol dan vodka adalah minuman wajib dalam setiap resepsi pernikahan (kebudayaan ini pun sangat beraroma Rusia). Hampir seratus persen muslim di sana tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Di Tajikistan, orang-orang lebih senang mandi di “pemandian Bibi Fatima” ketimbang bermaaf-maafan dengan sanak keluarga tercinta. Lalu bagaimana dengan salat lima waktu? Jangankan menjalankannya, arti assalamualaikum dan bismillahirrahmanirrahim pun mereka tak tahu.
Sepertinya, masa lalu sangat sulit dilepaskan. Garis-garis kebudayaan dan doktrin Rusianisme tak terelakkan, tak mudah terhapuskan oleh kemerdekaan dan perputaran waktu, malah sebaliknya, garis-garis itu kian menebal dan berpotensi besar untuk menjadi permanen akibat kemajuan zaman dan globalisasi.

Pemberani
Pejalan (traveler), petualang, pengelana, musafir, backpacker atau apa pun sebutan dan gelarnya, mereka adalah pemberani, pun dengan Agustinus Wibowo. Penulis kisah perjalanan Afghanistan Selimut Debu itu berani keluar dari garis batas negaranya, Indonesia, kemudian memasuki garis batas Asia Tengah dengan modal uang yang tidak banyak dan niat dan gejolak bertualang dan rasa ingin tahu yang membeludak. Beragam manusia dari suku, agama, ras, bahasa, kebudayaan dan karakter yang berbeda ditemuinya. Keramahtamahan bagi tamu di Tajikistan, individualisme dan keacuhan di Kazakhstan, kebijakan negara yang aneh di Turkmenistan adalah butir-butir pengalaman yang sulit terlupakan baginya.
Apa yang sebenarnya Agustinus dan para pengelana lakukan? Tidakkah mereka membuang waktu yang berharga? Mungkin salah satu jawaban yang dapat mewakili ialah: belajar! Belajar melihat kehidupan. Belajar membaca karakter manusia dan negara yang berbeda. Belajar kebudayaan secara langsung dengan menjadi dan terlibat dengan pelaku budaya, masyarakat.
Hidup sebagai pendatang atau orang asing merupakan cara terbaik memahami sebuah lingkungan, sebuah sistem yang sedang berputar. Sering kita berpikir, sepertinya jika kita hidup di suatu tempat berbeda kita akan menjadi lebih baik, lebih sejahtera, bahagia, dan seterusnya. Khayalan-khayalan positif bergelayut di pikiran. Namun belum tentu tempat yang kita impikan akan menjamin kebahagiaan kehidupan bagi kita. Hal yang seperti demikian bersifat tak beraturan, yang ada hanya prediksi, sekadar menebak; yang terlihat hanya kulitnya, hanya katanya, bukan kenyataan yang hakiki.
Kembali lagi pada perjalanan! Perjalanan, semata-mata, (juga) merupakan sebuah cara untuk menemukan eksistensi diri, atau “Siapa aku sebenarnya?”
Setiap orang memiliki pertanyaan tentang eksistensi dirinya, dan akan menemukan jawabannya dengan usahanya sendiri dalam jangka waktu yang—relatif—lama, dan cara melakukannya pun berbeda. Mungkin salah satu cara yang dapat dijalani ialah dengan melakukan perjalanan, melewati garis batas-garis batas kehidupan yang umum, atau memasuki garis batas-garis batas di dunia yang baru.
Apakah Anda berani melewati garis batas “rumah” Anda, seperti yang dilakukan Agustinus dan para pengelana lainnya?


Ardian Je, relawan Rumah Dunia; suka sayur belut; buku puisi mutakhirnya bertajuk Bojonegara (2017).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sawah, Nasibmu Kini

Nobiagari

Pilkada dan Perpustakaan