Air Mata (Para Petani) Kopi




Oleh Ardian Je

Inspirasi untuk menulis puisi, atau karya sastra lainnya, bisa datang dari manapun, dari apa pun, tak terkecuali kopi. Barangkali, bagi orang biasa, kopi hanya sekadar teman "melamun" atau teman merokok atau penambah semangat dalam berkegiatan; tetapi di mata penyair, kopi bisa menjadi hal yang sangat berharga dan penuh makna. Aroma dan rasa kopi bisa menjadi puisi, setidaknya itulah hal yang saya temukan dalam buku kumpulan puisi Air Mata Kopi (Gramedia) karya Gol A Gong—berikutnya Gong.
Sebagai seorang pejalan, Gong terus mencari kopi, mulai dari jenis, makna, hingga keresahan dan nasib para petani kopi di Indonesia. "Perjalanan kopi", barangkali frasa inilah yang sangat tepat dengan buku kumpulan puisi ini.
Perjalanan kopi Gong bukan sekadar perjalanan menyinggahi kebun-kebun kopi dan kedai-kedai kopi. Lebih dari itu, perjalanan kopi Gong adalah perjalanan kehidupan kopi. Dalam kumpulannya, pada puisi pertama yang berjudul "Jangan Minum Kopi", Gong menyuguhkan larangan. "Kita berdosa pada petani kopi… /Lagi pula ngopi bukan tradisi."
Mengapa Gong melarang (pembaca dan manusia secara menyeluruh?) meminum kopi? Mungkin karena petani kopi pun tak merasakan kesejahteraan atas nasib mereka! Barangkali jawabannya ada pada puisi yang berjudul "Kopi Pangku": kopi diaduk kopi dipangku/ rasanya tak sepadan dengan harga diri. Dalam puisi "Kopi Pangku" ini, ada nada merana dari nasib para perantau—yang kebetulan menjadi "pelayan kopi": mereka, para perantau itu, mesti rela dipangku dan disentuh-sentuh oleh para pembeli kopi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Antara harga diri dan keadaan ekonomi, semuanya dipertaruhkan dalam segelas kopi dan beberapa menit pangkuan.
Tentu puisi-puisi Gong dalam kumpulan ini menyuarakan realita dan kritik sosial, keadaan yang tengah terjadi saat ini, dan barangkali hal ini telah terjadi dari masa lalu hingga nanti. 
Mari lihat bait terakhir dari puisi yang berjudul "Kopi Tubruk" berikut:
Aku tahu kopi tubruk kegemaranmu
dimasak mendidih sepanci airmata rakyatmu
dituang ke cangkir seng pisang rebus
bermaksud menjadi simbol kebangkitan
: cappuccino-espresso menggantikannya!

Dalam pandangan saya, di larik kedua dari sebait puisi tersebut, jelas bahwa nasib rakyat petani kopi Indonseia tidak sejahtera, karena kopi tubruk kegemaran (Bung Karno?) dimasak mendidih dengan sepanci airmata rakyat Indonesia. Belum lagi pada larik terakhir cappuccino-espresso menggantikannya!—dalam hal ini koi-kopi tradisional produksi pribumi digantikan kopi cappuccino dan espresso, yang tidak lain adalah buatan pabrik dan kapitalisme, yang jelas menggusur kehidupan pribumi beserta kebudayaan dan tradisinya.
Dapat dikatakan bahwa kumpulan puisi ini, selain bentuk perjalanan kopi sang penyair, adalah isak tangis serta kesedihan para petani kopi. oh, pemilik biji harum kopi/ air mata kopi tumpah dari cangkirku (puisi "Air Mata Kopi", halaman 27). Itu bisa dilihat dengan beberapa kali munculnya frasa "air mata", bahkan frasa tersebut digunakan dalam judul utama.
Dibalik kemelaratan para petani kopi, selain kapitalisme, ada juga campur tangan partai politik. Politik dan kapitalisme sulit dipisahkan, dan Gong dengan penuh kesadaran dan perasaan menuliskannya dalam puisi yang berjudul "Di Dalam Masjid": ketika rukuk sujud kepalaku bercabang/ melihat begitu banyak kepala kerbau/ di punggung imam dan ma'mum.
Pandeglang, 21 Agustus 2014

Ardian Je, relawan Rumah Dunia; wartawan rumahdunia.com; alumnus Tadris Bahasa Inggris IAIN SMH Banten. Buku puisi mutakhirnya bertajuk Bojonegara (2017). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sawah, Nasibmu Kini

Nobiagari

Pilkada dan Perpustakaan