Perjalanan Kehidupan di Asia
Oleh Ardian Je
Perjalanan
manusia, dalam sudut pandang Islam, telah ditulis Tuhan ketika ia berumur empat
bulan dalam kandungan sang ibu tercinta, seperti jodoh, rizki dan umur yang
akan dihabiskan. Terserah manusia mau menggunakan waktu yang diberikan padanya
untuk melakukan apa. Toh, hidup adalah pilihan, dan pilihan adalah
takdir yang telah, sedang dan akan kita jalani; bisa susah ataupun sebaliknya.
Perjalanan
seorang manusia jelas akan berbeda dengan perjalanan manusia lainnya, baik
perjalanan raga, maupun perjalanan jiwa. Dua jenis perjalanan ini akan berjalan
beriringan, bahu-membahu, susun-menyusun, dan seterusnya.
Banyak
seorang pejalan (traveler) mengunjungi daerah-daerah yang dianggapnya
menarik atau mesti ditaklukan. Namun jarang sekali seorang pejalan menuliskan
pengalamannya—terlebih dalam bentuk buku non-fiksi atau catatan perjalanan atau
travel writing. The Gong Traveling (Salamadani, 2012) karya Gol A
Gong, travel-writer legendaries Indonesia, memberi banyak informasi dan
pengetahuan, serta mengajarkan keberanian seorang manusia—lelaki
khususnya—untuk menaklukan dunia.
Buku
setebal 262 halaman ini memberitahu cara membaca “peta kehidupan” yang dialami
Gong di negara-negara Asia seperti Malaysia, Thailand, Laos, Bangladesh, India,
Nepal, dan Pakistan yang dihabiskannya selama sembilan bulan. Tidak hanya
tempat wisata yang dijejaki kakinya, tetapi juga tempat-tempat yang tak pernah
terbayangkan olehnya. Debu jalanan, perlakuan yang tidak seharusnya dilakukan
masyarakat dan petugas lokal karena latar belakang kebudayaan, dialaminya.
Keringat dan rasa lelah adalah “nasi dan air” yang mesti dikonsumsi tiap hari.
“Sambil
menyelam, minum air,” begitu kata pepatah. Sambil melakukan perjalanan, kawan
baru yang sekegemaran pun berdatangan atau dipertemukan. Itulah hal yang akan
dialami seorang pejalan. Banyak orang-orang yang “stress” karena masalah
pribadi atau pekerjaannya. Maka, dengan cara melakukan perjalananlah seseorang
dapat melihat dunia luar, dunia yang jauh berbeda dengan dunia yang ditemuinya
sehari-hari di kantor, sekolah, atau yang lainnya. Suasana akrab langsung
terasa jika sesama pejalan bertemu. Persahabatan adalah hal yang indah, bukan? Suasana
tolong-menolong menjadi lebih intim dari kehidupan sehari-hari yang tengah
menuju individualisme.
Ketika
Gong menginjak Negeri Jiran, Malaysia, ia sering mendapat cibiran, bahkan
ejekan secara transparan. Seorang pejalan asal Indonesia akan dianggap kaya
oleh mereka. Mungkin ini terjadi akibat tingginya angka kemiskinan di Indonesia
dan sedikitnya jumlah pejalan yang berasal dari Indonesia. “Di Indonesia,
banyak maling!” aku salah seorang warga Malaysia. Padahal, Gong pernah bertemu
dengan seorang cikgu (guru) yang—hampir—menipu Gong dan sebuah toko
buku. Pencitraan yang buruk kerap kali ditujukan pada Indonesia. (Padahal
mereka pernah mengklaim dengan bangga bahwa batik dan lagu Rasa Sayange
milik mereka)
Berbeda
dengan perjalanan Gong di Pakistan. Ia, karena berasal dari Indonesia dan seorang
muslim, mendapat perlakuan baik: diberi uang oleh orang yang pernah ditemuinya
dengan alasan jasa pelaku sejarah (Soekarno) yang telah membantu Pakistan dalam
berkehidupan di dunia. Mereka warga negara yang tidak lupa membalas budi, dan
pecinta sejarah yang baik, sepertinya.
Memang,
dalam perjalanan, akan banyak hal baru yang akan ditemukan, tak mustahil bagi
pintu cinta yang bisa terketuk dan terbuka lebar kapan dan di mana saja. Terkdang,
cinta lokasi tak bisa dihindari, atau malah sengaja dicari. Dari kesamaan
kegemaran (hobby), bisa muncul rasa kagum, sayang, dan cinta. Persamaan
menjadi daya tarik seseorang terhadap lawan jenisnya. Namun sayang, cinta
lokasi, apalagi jika dialami sesama pejalan, akan sangat sulit untuk diesakan.
Waktu berlibur atau bertualang ada batasnya, mesti pulang, dan berakhirlah
segala cerita cinta yang diukir dengan waktu dan tempat yang tak pernah terduga
sebelumnya. Kerinduan membentang seluas samudera dan setinggi langit. Bukankah
cinta tak mesti memiliki?
Ya,
kerinduan adalah hal yang sangat dekat bila seseorang jauh dari area
kehidupannya yang nyata, yang biasa dilakoninya; begitu menyiksa batin. Ingin
rasanya memeluk tubuh sanak famili di rumah, bercerita tentang peristiwa yang
dialaminya, baik hal yang terduga maupun yang tak terduga. Keluarga adalah
telinga yang siap menampung segala kegelisahan dan rasa emosional yang
membeludak di dada. Seorang pejalan harus pergi, namun ia juga harus kembali.
Pergi untuk kembali. Ada bagian kehidupan terkecil di belahan dunia yang luput
dari manusia. Kita harus melihat dan mengalaminya, agar kita tahu apakah kita
lebih beruntung atau sebaliknya.
Manusia
bukan katak yang terpenjara di dalam tempurung! Ia adalah air sungai yang harus
mengalir agar tidak keruh dan menyatu dengan asinnya air laut.
Ardian
Je, relawan Rumah Dunia; tulisan ini ditulis saat ia masih menjadi mahasiswa
Tadris Bahasa Inggris IAIN SMH Banten.
Komentar
Posting Komentar