Camat Ikhsan dan Pemimpin yang Dirindukan Banten
Oleh Ardian Je
Menjalani kehidupan di dunia
pemerintahan sebagai pemegang jabatan sangatlah sulit dan pelik, karena
dipenuhi dengan intrik dan kepentingan yang kerap mengantarkan pada konflik. Di
saat itulah kebijaksanaan, kepercayaan, akal sehat hingga keimanan diuji. Jika
seseorang berani menghadapi ujian tersebut dan melewatinya, bukan lari darinya,
maka ia bisa dinyatakan lulus dari ujian kehidupan.
Dalam
kehidupan, ujian merupakan hal yang tak terelakkan. Begitu pula dalam kehidupan
di dunia pemerintahan: jabatan adalah bentuk nyata dari ujian itu sendiri,
sekaligus ladang pendulang amal kebaikan dan kebajikan. Hal demikian dapat kita
temukan dalam novel Sajadah Lipat Pak Camat (Tinta
Medina, 2015) karya Riyanto El Harist, salah seorang PNS di Serang.
Menjadi
seorang pemegang jabatan berarti mesti melaksanakan tugas dengan baik dan mampu
menjaga diri dari godaan, terlebih pada godaan yang sekiranya hanya
menguntungkan pribadi ataupun kelompok, sementara di sisi lain, hak dan kesejahteraan
masyarakat jadi terbengkalai. “Mungkin itu juga ya Pak, yang membuat para camat
sering terkena kasus sengketa tanah,” Pak Malik menambahi, “tetangga saya yang
menjabat camat malah memalsukan surat jual beli demi keuntungan pengembangan
dari kota. Wah, ternyata banyak juga godaan untuk menjadi pejabat itu ya ....”
(halaman 211).
Buku setebal
288 halaman ini menceritakan seorang lelaki bernama Ikhsan, orang nomor wahid
di Kecamatan Linggar, Kabupaten Angin Selatan. Ia adalah lulusan Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang mendapat tugas untuk memimpin Kecamatan
Linggar.
Ikhsan adalah
pemimpin yang bijak dalam mengambil keputusan, adil dalam segala situasi dan
kondisi, dan senantiasa memihak pada kebenaran. Namun, karena ada pihak yang
tidak menyukainya, ia dijebak dalam sebuah konspirasi. Jebak-menjebak,
konspirasi, fitnah adalah hal yang lumrah terjadi dalam politik yang tujuannya
adalah untuk kekuatan dan kekuasaan semata. Sangat memalukan, memang. Yang
demikian sering kita jumpai di media cetak, elektronik, maupun sosial.
Ikhsan menolak
proyek pembangunan hotel dan restoran bertaraf internasional yang hendak
dibangun di kawasan Linggar oleh PT. Sinar Kejora dari Jakarta. Ia khawatir,
proyek itu tidak memberi keuntungan dan kebaikan pada masyarakatnya yang
notabene berada di kelas bawah. Ia memiliki firasat bahwa proyek itu tidak
memberi dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat Linggar ke depan.
Kemudian, ia
dicoba disuap dengan uang sebanyak 2 miliar Rupiah, dan dirayu untuk naik
jabatan oleh Pak Sodikun, orang terdekat Bupati Angin Selatan. Ia menolak, dan
hal itu menambah keyakinannya bahwa proyek itu menjurus pada hal yang tidak
baik.
Agar proyek
itu terlaksana sekaligus memberi pelajaran pada Ikhsan, “orang-orang proyek”
itu menjebak Ikhsan. Seorang camat yang relijius itu di-setting
sedemikian rupa. Ia, Ikhsan, ditahan di sel Polsek Mutiara Indah, karena
didapati sedang tidur dengan Myrna si pengelola salon yang muda dan cantik
jelita tanpa busana di Hotel Santika. Myrna mati karena over dosis. Ikhsan
diduga berpesta narkoba dan melakukan pembunuhan berencana.
Pada saat
penantian sidangnya sebagai tersangka—keputusan apakah Ikhsan dinyatakan
bersalah atau tidak di mata hukum, serta pembacaan vonisnya—ia diberi selembar
sajadah oleh Jojo Sutarjo, tukang kebun dan pesuruh Kecamatan Linggar. Di atas
sajadah itulah Ikhsan terus berdoa, melaksanakan salat tahajjud,
menyebut-nyebut nama Tuhan.
Untuk
menghadapi persidangan, Ikhsan dibantu oleh pengacara muda bernama Maria dan
seorang penegak hukum bernama AKP Hardi. Ia juga ditolong oleh kesaksian Linda
(sahabat Myrna) dan Rina (adik Myrna) yang menyatakan bahwa semuanya adalah
konspirasi. Myrna disuruh Pak Sodikun, lelaki hidung belang yang menghamilinya,
untuk menggoda Ikhsan dan merusak rumah tangga Ikhsan. Sebagai gantinya,
keuangan Myrna dan kesejahteraan salonnya akan didanai Pak Sodikun. Akhirnya,
Ikhsan dinyatakan bebas dan tidak bersalah.
Pemimpin yang
Dibutuhkan Banten
Sosok Ikhsan adalah sosok pemimpin
yang ideal. Mengapa? Karena, Ikhsan menjabat sebagai camat (lambang pemimpin). Pemimpin
atau pejabat atau pemegang kekuasaan harus mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin harus berjuang mati-matian demi kesejahteraan rakyatnya. Bukankah
tujuan utama negara atau instansi daerah dari provinsi, kota/kabupaten,
kecamatan, desa/kelurahan dan seterusnya adalah untuk menyejahterakan rakyat?
Bukan kesejahteraan pribadi, keluarga atau kerabat atau kelompoknya!
Pemimpin, dan
umumnya bagi semua orang, harus dapat menjaga diri dari godaan harta, tahta dan
wanita. Jika tergoda oleh salah satunya, maka akan hancur karisma
kepemimpinannya di mata masyarakatnya. Tak jarang, tiga komponen ini digunakan
sebagai senjata rahasia sekaligus senjata utama dalam “menyerang” seseorang
atau kelompok orang yang berseberangan dengan orang lain demi kepentingan
tertentu.
Hal lain yang
dapat dipelajari dari tokoh fiktif Ikhsan ialah tidak semua pejabat yang ada di
bui adalah orang jahat, dan tidak semua orang pemerintahan gemar melencengkan
tugasnya, serta tidak semua orang yang ada di luar bui adalah orang baik. Orang
baik dan jahat ada di manapun dengan rupa yang beraneka ragam.
Pemimpin harus
tahan suap! Jangan mau disuap! Suap-menyuap adalah jelas pelanggaran hukum dan
jabatan dan kewenangan. Pemimpin ada bukan untuk memperkaya diri dan
memiskinkan masyarakat, tapi berusaha untuk memperkaya batin masyarakatnya serta
nilai-nilai kehidupan.
Pemimpin juga
harus berani menolak kenaikan jabatan, bila harus mengorbankan rakyat. Jika ada
pemimpin yang seperti itu, dapat dikatakan bahwa ia merupakan pemimpin kerdil
yang mementingkan diri sendiri. Karena
konsep pemimpin pada dasarnya ialah peduli dan melayani. Karenanya, dibutuhkan
sifat dan sikap simpati dan empati pada masyarakat. Jabatan bukanlah segalanya.
Yang segalanya ialah rakyat!
Kalau ada
ataupun banyak orang atau pihak yang tidak menyukai sosok pemimpin yang baik, maka
si pemimpin itu harus tetap bersabar, berusaha dan berdoa semaksimal mungkin,
dan percaya ada Tuhan yang selalu melihat hamba yang baik. Tuhan akan
menyelesaikan masalah manusia yang di mata-Nya hanyalah butiran debu.
Di tahun
kampanye politik seperti saat ini, sudah menjadi kewajiban bagi para pemimpin
atau pejabat di Banten untuk menjadi sosok peimpin yang ideal, yang dicontohkan
sedikitnya oleh Ikhsan sang camat dalam novel Sajadah Lipat Pak Camat.
Bagi rakyat sendiri, memang harus pintar membaca calon sosok pemimpin, agar di
masa mendatang kesejahteraan bisa terwujud.
*Tulisan ini pernah dimuat Radar Banten,
2016.
Ardian Je, relawan Rumah Dunia; pendidik di MTs-MA Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon;
ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Serang; penulis buku puisi Bojonegara (2017). Tinggal di Kubang Gede,
Mangkunegara, Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten.
Foto: Google
Komentar
Posting Komentar