Menciptakan Budaya Literasi di Sekolah
Oleh Ardian Je
Kata penyair sekaligus dramawan kawakan Indonesia WS. Rendra, ujung
tombak perjuangan kebudayaan adalah pendidikan. Pendidikan juga disebut-sebut
sebagai salah satu faktor penting dalam kemajuan dan peradaban suatu bangsa.
Jika potret kenyataan dunia pendidikan itu buruk, maka akan buruk pula suatu
bangsa. Kurang-lebih begitu analoginya.
Satu pertanyaan kecil pun munucul: Bagaimana potret dunia
pendidikan di suatu bangsa atau daerah? Baguskah? Atau malah kebalikannya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita tengok sejenak budaya
literasi (keberaksaraan, baca-tulis) di negara-negara tetangga kita, karena
dari budaya literasi itulah pendidikan dan kemajuan bangsa akan tercipta.
Mari kita lihat Singapura, yang masyarakatnya dari segi jumlah
penduduk jauh—bahkan sangat jauh—lebih sedikit dengan Indonesia. Pendidikan di
sana maju. Karena masyarakat Singapura rajin membaca buku. Di dalam bus kota,
di dalam kereta cepat bawah tanah (MRT), di tempat-tempat umum, mereka tak
lepas dari buku. Dan kita lihat sekarang, Singapura menjadi diperhitungkan oleh
dunia. Ia juga disebut sebagai miniatur Eropa, dan salah satu kota metropolitan
dunia.
Hal yang demikian juga terjadi di Jepang. Bahkan jauh lebih gila
lagi. Masyarakat Jepang juga sangat literat, sangat cinta membaca buku.
Atmosfer atau budaya literasi di sana sangat mendukung. Karenanya, Jepang
menjadi raja Asia dalam ilmu dan teknologi. Produk-produk buatan Jepang bahkan
tidak hanya laku dan digunakan di Indonesia, tapi di pelbagai negara di dunia!
Mengapa bisa demikian? Karena budaya literasi di sana, khususnya di
sekolah-sekolah, sudah tercipta dengan sangat baik.
Buku, Perpustakaan, Membaca
Untuk menciptakan budaya literasi di sekolah, maka unsur-unsur yang
tak bisa dilepaskan dan wajib dimiliki ialah buku, perpustakaan dan minat
membaca. Buku adalah pintu menuju ilmu pengetahuan dunia, perpustakaan adalah
rumahnya, dan membaca adalah kuncinya!
Dari kalimat mutiara itu terlihat sangat gamblang hubungan
antara—saya ingin menyebutnya dengan—tiga pondasi literasi, yakni buku,
perpustakaan dan membaca. Mereka memiliki hubungan yang sangat erat, yang
tentunya akan sangat mempengaruhi betapa literat atau tidaknya seseorang atau
sekelompok orang. Buku dan perpustakaan berkait erat dan merupakan sesuatu yang
bersifat bendawi, sedangkan membaca tidak demikian. Ia terikat kuat dengan
bagian psikologis seseorang atau sekelompok orang. Jadi, minat membaca harus
muncul atau dimunculkan dari dan pada siswa agar terciptanya proses mendaras
buku bacaan.
Buku dan perpustakaan sangatlah penting keberadaannya untuk
menumbuhkan minat membaca dan menciptakan budaya literasi di sekolah. Apa
pasal? Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka (teks) apa yang bisa dibaca?
Sementara perpustakaan adalah rumah bagi buku-buku.
Jikapun ada banyak buku di perpustakaan, lalu naasnya tidak ada
orang yang membaca buku di sana, maka itu pun sia-sia belaka. Percuma. Perpustakaan
harus dihidupkan! Dengan cara, rak-rak di perpustakaan diisi dengan buku-buku
yang bagus. Bukan hanya dipenuhi dengan buku-buku paket pelajaran, tetapi aneka
buku bacaan yang jauh lebih segar dan menyenangkan, seperti buku-buku
ensiklopedia, sastra, komik, biografi. Buku-buku jenis itu akan meningkatkan
minat membaca siswa dan memicu kreatifitas mereka. Daya imajinasi mereka akan
hidup saat mendaras buku-buku jenis itu.
Mirisnya, ada saja—untuk tidak mengatakan banyak--dana pengadaan
buku (maaf) dipermainkan pihak tertentu. Dana pengadaan buku harus digunakan untuk
membeli buku, memenuhi koleksi perpustakaan sekolah. Digunakan semestinya.
Kalau perlu, buat perpustakaan sekolah seperti perpustakaan nasional Singapura.
Di sana, perpustakaan dibuat seperti taman bermain anak-anak. Orang dewasa dan
orangtua pun akan merasa nyaman berada dan membaca di sana.
Untuk menyiasati pengadaan koleksi buku, bisa pula para guru dan seluruh
siswa menyumbang buku bacaan, diutamakan buku bacaan, jangan buku LKS atau
paket. Itu bisa dilakukan sekali dalam satu semester.
Menciptakan Budaya Literasi di Sekolah
Beberapa cara yang bisa dilakukan komite sekolah untuk mencptakan
budaya literasi ialah dengan cara komite atau para petinggi sekolah atau
perpustakaan sekolah mengadakan kegiatan bedah buku, diskusi literasi,
mendatangkan penulis, atau pelatihan menulis.
Buku-buku terbaru dibedah, dengan mendatangkan penulis (diutamakan
penulis lokal) dan akademisi sastra yang berkompeten. Itu untuk memicu dan
memacu para siswa untuk berkarya. Bahkan, sekolah harus menggelar pelatihan
(workshop) menulis jurnalistik, esai, fiksi, hingga puisi.
Akan lebih baik lagi sekolah mengadakan ekstrakurikuler menulis.
Bisa juga disisipkan di ekstakurikuler mading (majalah dinding). Para siswa
belajar jurnalistik, sastra dan esai. Guru bahasa Indonesia bisa menginisiasi
ini. Kemudian menjadikan penulis lokal yang sudah memiliki karya sebagai tutor.
Sesekali mengundang penulis yang sudah tenar untuk merangsang anak-anak
menulis.
Selain itu,
sekolah mesti melaksanakan Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan
Budi Pekerti, yakni dengan cara membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran
dimulai. Jangan dibiarkan peraturan yang sudah dibuat dan ditetapkan itu tidak
dilaksanakan! Jangan sampai ada adagium begini: “Peraturan dibuat untuk
dilanggar!” Bagaimana mulai sekarang ditanamkan seperti ini: “Peraturan dibuat
untuk dilaksanakan!”
Sekolah bekerja
sama dengan wali kelas dan para siswa membangun perpustakaan kelas, atau pojok
perustakaan kelas, agar siswa termotivasi membaca buku saat guru belum datang
ke kelas, atau membaca pada jam istirahat. FTBM Indonesia yang dikomandani oleh
Firman Venayaksa, dosen sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, pun sedang
berupaya melaksanakan program ini.
Hal-hal yang bisa
menjadi barometer dalam keberhasilan menciptakan budaya literasi di sekolah
ialah dengan menerbitkan koran sekolah, buletin sekolah, majalah sekolah,
tabloid sekolah, atau buku yang ditulis kepala sekolah, para guru dan atau para
siswa. Atau sekolah juga bisa membuat media on line.
Guru dan kepala sekolah
bekerja sama dengan komunitas dan penerbit lokal untuk menulis (menerbitkan)
buku. Pengalaman mengajar para guru bisa menjadi ide menarik. Setiap guru yang
menulis buku atau menulis di koran cetak lokal dan nasional diberi apresiasi
berupa honor. Sekolah juga bisa mengadakan aneka lomba literasi: baca-tulis
puisi, menulis cerpen, menulis esai dan sebagainya.
Jika
kegiatan-kegiatan itu diupayakan dan dilaksakan, tentu budaya literasi di
sekolah akan tercipta. Dan itu penting untuk kemajuan sekolah, kemajuan
pendidikan bagi bangsa ini. Semua ini adalah demi kemajuan dan peradaban
bangsa. Wallahu’alam.
*Tulisan ini pernah dimuat harian Kabar Banten, 15 Oktober 2016
*Tulisan ini pernah dimuat harian Kabar Banten, 15 Oktober 2016
Ardian Je, relawan Rumah Dunia; pengajar di MTs Al-Khairiyah
Karangtengah Cilegon.
Komentar
Posting Komentar