Spotlight, Pers, Kemanusiaan


Oleh Ardian Je

Ada sebuah kalimat pernyataan yang menarik terkait dunia jurnalistik, media atau pers: “Suatu koran bisa berfungsi secara maksimal jika bekerja secara independen.” Kalimat itu diucapkan Marty Baron (diperankan oleh Liev Schreiber) dalam film Spotlight (2015), sebuah film yang mendapat penghargaan Oscar di tahun 2016 ini sebagai film terbaik.
Barangkali ini bukan sekadar pernyataan. Barangkali ini adalah sebuah moto pers dalam kepala tokoh Baron. Atau barangkali harus beginilah sebuah unit (baca: pers) harus berbuat.

Spotlight
Baron, lelaki Yahudi berkacamata, editor baru Spotlight, langsung membuat kebijakan yang menggebrak, yang mengejutkan tim reporter yang belum mengenalnya sebagai kolega ataupun pribadi. Ia orang baru di Spotlight, sebuah tim investigasi berita di harian The Boston Globe, Boston, Amerika Serikat. Ia ingin menggali dan menunjukkan ada sesuatu yang tak beres di kota itu: pencabulan anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh para pastur Gereja Katholik, yang memang memiliki kekuatan yang sangat besar dan bercitra sangat baik.
Awalnya, anggota tim Spotlight tak memberi perhatian lebih terkait kasus itu, mengingat editor mereka adalah orang baru, orang asing yang satu jam lalu datang dan bergabung, yang dianggap tak tahu dan tak kenal dengan kondisi kota dan harian lokal itu. Tapi tak ada yang tahu persis apa yang ada di kepala Baron.
Apa pasal yang menyebabkan kasus itu tak mendapat perhatian lebih dari media atau pers? Karena kasus pencabulan itu dianggap kecil, biasa, remeh, bukan sesuatu yang besar dan mesti diangkat—bahkan oleh—harian lokal-harian lokal di kota itu. Di lain sisi, pihak Gereja telah “menghilangkan jejak” atas dosa-dosa agama dan kemanusiaan yang dilakukan para pastur. Tapi kemudian Baron sangat ingin mengungkap kasus itu. Dan untungnya, tim mau berusaha mengungkapnya.
Di Boston, berdasarkan data dan sumber yang didapat tim investigasi, ada sekitar 80 pastur yang mencabuli anak-anak di bawah umur, baik laki-laki maupun perempuan. Baron, si editor baru Spotlight, mencoba mengungkap keburukan dan kebobrokan itu. Dan, kenyataan lain pun ditemukan, dan mencengangkan. Tak hanya di Boston, tapi banyak sekali pastur di pelbagai negara melakukan tindakan serupa.
Tanpa ba-bi-bu, tim bergerak. Mereka meliput, menginvestgasi, menyelidiki, seperti detektif profesional. Para reporter senantiasa menyediakan pena dan kertas, konsentrasi dan ketajaman naluri, hingga intuisi dalam mencari data, fakta, kebenaran, dan tentu saja mereka harus berpacu dengan waktu, dengan deadline yang mencekik, dengan koran-koran yang lebih besar dari The Boston Globe.
Sebagai tangan kanan Baron, Walter “Robby” Robinson (diperankan oleh Michael Keaton) meminta Mike Rezendes (diperankan oleh Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (diperankan oleh Rachel McAdams) dan reporter lainnya untuk bekerja sama. Para reporter bekerja keras untuk meliput narasumber, yang terdiri atas para korban yang menyimpan trauma berkepanjangan dalam kedalaman ingatan, para pastur cabul yang sekuat tenaga berusaha mengubur aibnya, pengacara yang mati-matian membela para pastur karena dibayar mahal...
Para korban itu sebetulnya malu membuka aib masa lalu. Dengan dada sesak dan airmata yang meleleh di pipi, mereka sedikit demi sedikit membuka kebenaran yang telah terjadi. “Ini soal pastur yang memanfaatkan seragam mereka untuk memperkosa anak-anak,” kata Phil Saviano (diperankan oleh Neal Huff).
 “Saat kalian menjadi anak miskin dari keluarga miskin, agama berarti sangat besar. Dan saat seorang pastur memberi perhatian, itu seperti karunia besar,” ia bercerita dengan bersungguh-sungguh. “...Karena dia telah mengurusmu. Bagaimana bisa kau bilang tidak pada Tuhan, kan?” Para pastur, dalam film itu, adalah pembawa pesan Tuhan. Ia melanjutkan, “Ini bukan sekadar pelecehan secara fisik, tapi juga pelecehan secara spiritual.”
Tak hanya memburu narasumber, para reporter harus melengkapi referensi mereka dengan membaca buku di perpustakaan dari pagi hingga malam dan mencari arsip rahasia yang “dikubur dalam-dalam” oleh pihak Gereja agar tak terendus keburukan dan kebobrokan mereka.
Film garapan sutradara Tom McCarthy ini, yang menonjolkan dunia pers, memperlihatkan sebuah kenyataan pahit. Ironi. Instansi, komunitas, organisasi, lembaga atau mejelis yang mengatasnamakan agama (baca: Gereja) malah melakukan tindakan yang tak mencerminkan kesucian agama, yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Pers untuk Kemanusiaan
“Suatu koran bisa berfungsi secara maksimal jika bekerja secara independen,” kata Baron. Pers memang harus melakukan ini, menjadi seperti ini. Mau tak mau! Ia harus bekerja maksimal untuk menyampaikan kebenaran. Ia pada akhirnya bukan hanya bertugas untuk menampilkan berita yang remeh-temeh, ringan, tak berbobot.
Pers harus lebih dari itu! Ia harus  mau dan mampu mengungkap kasus-kasus yang mencakup kepentingan kemanusiaan, menyampaikan berita bukan hanya kulit luarnya, tapi hingga ke dalam tulangnya!
Kadangkala kebenaran dianggap aib yang tak boleh dibocorkan pada orang terdekat sekalipun, apalagi hingga pada media atau pers. Tapi, demi kemanusiaan, itu harus disampaikan. Barangkali begitulah totalitas bagi dunia pers: menyampaikan kebenaran untuk kepentingan kemanusiaan.

Ardian Je, relawan Rumah Dunia; pendidik di MTs Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sawah, Nasibmu Kini

Nobiagari

Pilkada dan Perpustakaan